Cetakan kedua Kumpulan Puisi Putih Sang Kekasih mengekalkan sajak-sajak Siti Zainon Ismail terbitan sekitar tahun 1978-1980 dengan tambahan lakaran. Ini merupakan buku kedua setelah Nyanyian Malam (DBP, 1976). Judul buku ini juga masih mengekalkan semangat kasih sayang yang murni sebagai ‘puisi putih’ bercitra ’embun dan kabus’ sebagai pemberian Tuhan. Sebagai penyair muda yang mendapat pendidikan seni lukis secara rasmi, memang pemerian karya ini banyak dipengaruhi unsur-unsur seni lukis.
Melihat alam saja rasa ingin melakar dan memberi wama. Hingga tercipta metafora matahari sebagai ‘bola merah’ hingga manusia yang mendiamkan diri sebut ‘kelabu’. Seperti dalam gaya melukis dengan garis ekspresif kerap kali menghilangkan bentuk nyata, hingga akhir tahun 1973, unsur lukisan surealis begitu ketara di celah gerak tari yang dibimbing oleh Pak Bagong Kusdihardjo, ‘kaulah yang memasang lilin-lilin / kemudian memadamnya kembali / sambil bersorak terlalu riuh / di ruang gelap / kitapun melukis suasana / di lantai semu / di dinding bisu / wujudlah arca rindu yang terlalu letih.’
Sekembalinya ke Tanah Air, bertugas sebagai Jurulatih Seni di Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan (1974-1976), seterusnya menyambung kuliah di UKM. Kerja penyelidikan Kesenian Tradisi memberinya semangat yang lebih memberangsangkan. Data-data penyelidikan yang dilakukan tentang kesenian rakyat memberinya idea baharu, untuk menggali nilai warisan. Lahirlah judul seperti “Kampung Kepala Bendang” pusat tukang menghasilkan labu Sayong hingga dicatat ‘hidup masih diwariskan / menggali tanah liat di kaki bukit / membentuk labu dan membakarnya di api sekam.’
Seterusnya rasa kemanusiaannya makin ketara dalam tajuk-tajuk selain “Romansa di Gunung” seperti “Sri Trolak” (buat keluarga peneroka) dengan catatan “sebenamyalah/terlalu berat buat menakluk kekuasaan/kecuali harapan/berbekalkan azam/pohon pun kita suburkan lagi/lembah dan bukit seminya merimbun.” Sesungguhnya kerja keras dan usaha itulah yang membenihkan kejayaan FELDA. Kekerasan hidup di beberapa tempat yang disinggahi telah memberi idea garapan sajak antaranya “Di Kota ini” yang dihasilkan ketika datang ke Filipina.
Kekerasan hidup anak jalanan yang keras, hanya untuk meneruskan kehidupan keluarga, ‘terhidulah bau rambutmu / suara nyaring runtuhan batu / wap air dan gunung api / semalam / seorang semir sepatu mengetuk pintuku / anak-anak menjual kacang sempit menjelir lidah / bagai desa jeepney merah’
Tetapi kekerasan hidup tetap memberi semangat anak jalanan hidup harus diteruskan.
Puisi-puisi dalam Kumpulan Puisi Putih Sang Kekasih memang menjaring suara anak muda yang kerap digoda gundah, hidup belum tentu arah ke mana hujungnya, tetapi tetap percaya hati wajar disemai dengan kasih sayang menerusi ilmu. Sastera dan seni lainnya seperti melukis telah memberi kekuatan dan kerap bertanya ‘cahaya bintangkah itu / yang menyemarakkan malam/yang tidak melelahkan perjalanan.’
Siti Zainon Ismail adalah anak kelahiran Gombak, Kuala Lumpur, pada 18 Disember 1949. Sejak kecil didengarnya alunan Qasidah ayah sambil melakar abjad Jawi. Inilah awalnya dia menyenangi puisi alam, hingga melanjut pelajaran di Sekolah Aminuddin Baki. Ketika belajar di Indonesia peluang mendekati sajak lebih meyakinkan bila tinggal berjiran dan mengintai latihan teater WS Rendra di Yogyakarta hingga terus menulis sambil mengikuti kuliah Seni Rupa ASRI. Minat kepada sajak makin bercambah bila menyambung kuliah Sarjana UKM pada tahun 1980 hingga ke peringkat Ph.D Universiti Malaya pada tahun 1992.
Reviews
There are no reviews yet