Tulila: Muzik Bujukan Mandailing merupakan sebuah pendokumentasian mengenai hubungan tulila (sebagai instrumen dan bunyi musik) dengan unsur-unsur kebudayaan Mandailing lainnya. Pendekatan seperti ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan jelas tentang kedudukan dan fungsi tulila dalam kehidupan sosial-budaya orang Mandailing. Sehubungan dengan itu diakui bahwa mempelajari musik tradisional dari segi penggunaan dan fungsinya bagi masyarakat pemiliknya memang penting. Namun selain itu perlu juga dipelajari tentang apa dan bagaimana konsep “bunyi musik” menurut persepsi masyarakatnya sendiri untuk menemukan kaedah-kaedah dan nilai-nilai esensial dari musik yang bersifat tradisional tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan keberadaan suku-suku bangsa lain di tanah air kita ini, alak (orang) Mandailing yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat di pulau Sumatera juga memiliki berbagai macam budaya musik tradisional. Namun, pada era globalisasi ini sebagian besar telah berada di ambang kepunahan, termasuk alat musik tiup tulila yang biasa digunakan pemuda ketika markusip (berkencan) dengan anak gadis pada malam hari. Sesungguhnya keadaan inilah yang mendorong minat penulis untuk meneliti tulila dan markusip mengingat kedua aktivitas budaya tradisional itu memiliki peran dan arti yang sangat penting bagi kalangan Na Poso Na Uli Bulung (muda-mudi) di masa lalu.
Bertitik-tolak dari keberadaan budaya muzik tulila dan tradisi markusip darj dahulu sampai sekarang di kalangan muda-mudi Mandailing, buku ini menghuraikan seluk-beluk kegiatan budaya tersebut termasuk pembelajaran pembuatan tulila dan markusip dalam ruang lingkup kebudayaan Mandailing seadanya. Penulis merincikan muzik tulila dengan memakai nota-nota muzik tulila dan notasi lagu untuk mengenalpasti bentuk dan melodi lagu asmara dana. Sketsanya Erni Zulfan Rangkuti, seorang etnomuzikologis membantu memberi gambaran kegiatan tulila dan markusip dimana ketiadaan foto mengisi kekosongan itu.
Untuk menyiapkan skripsinya, penulis melakukan penelitian di 18 desa di Mandailing Julu dan Mandailing Godang, menemu-bual 70 informan dari pelbagai marga, para gadis dan pria yang terlibat dalam kegiatan markusip, termasuk warga-warga huta (desa) yang sudah berumah-tangga baik lelaki mahupun perempuan yang pernah ber-markusip pada waktu mereka remaja dahulu, termasuk tokoh-tokoh budayawan Mandailing. Penulis juga melihat variasi dan persamaan dalam budaya tulila dan markusip di antara Mandailing Julu dan Mandailing Godang.
Penulis menunjukkan bahawa muzik tulila memimik alam, mahupun bisikan serangga, nyanyian burung atau desiran angin. Pembuatan dan permainan tulila adalah kegiatan yang menuntut ilmu, kesenian dan ketrampilan. Lebih jauh dari itu muzik tulila menjadi cerminan peribadi, falsafah, kebudayaan dan wacana hidup orang Mandailing. Dengan terpinggirnya muzik tulila bersamanya tersisih pula sisi-sisi tertentu watak keMandailingan.
Salah satu rumusan menarik dari telahan penulis ialah kesimpulannya bahawa muzik tulila bisa dikategorikan sebagai muzik ‘monofoni’. Ini adalah kerana tulila dan ende-ende dalam budaya markusip “pada dasarnya bukanlah merupakan gabungan musik vokal dan instrumental…. karena teknik penyajian tulila dan ende-ende dalam kegiatan markusip dilakukan secara berselang-seling atau saling bergantian. Dengan kata lain, salah satunya bukan berperan sebagai pengiring yang lainnya.”
Reviews
There are no reviews yet